Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | email: jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Tanggal 27 Rajab diyakini umat Islam sebagai salah satu hari istimewa. Pada hari tersebut terjadi peristiwa Isra dan Mikraj, Allah swt memperjalankan Nabi suci Muhammad saw dari Masjid al-Haram (Mekkah) ke Palestina (Masjid al-Aqsha) kemudian menaikkannya (mi‘raj) ke langit sampai ke Sidrah al-Muntaha. Perintah penting yang ada dalam peristiwa Mikraj adalah shalat lima kali sehari semalam.
Proses Mikraj yang Nabi suci saw lalui dari langit pertama sampai ke tujuh (HR al-Bukhari) lalu bertemu dengan Allah swt (HR Muslim dari Abu Dzar al-Ghifari w. 33 H) dan kembali lagi ke dunia memiliki pelajaran penting mengenai interaksi individu dengan sang Pencipta maupun tanggung jawab individu kepada masyarakatnya. Interaksi Nabi suci saw dengan Allah swt memiliki dua pesan: pertama, cinta kepada kekasih; Allah sw kepada Nabi suci dan sebaliknya Nabi kepada Penciptanya. Cinta yang timbal balik, tidak bertepuk sebelah tangan; kedua, amanah mengemban kelanjutan risalah melalui shalat kepada semua umat Islam.
Menurut Abd Rahman al-Suhaili (w. 581 H) pertemuan Nabi suci saw dengan para nabi di 7 langit tersebut, terutama pertemuan dengan Nabi Adam asw (alaihi al-shalatu wa al-salam) di langit pertama, Nabi Yahya as-Nabi Isa asw di langit kedua, Nabi Yusuf asw di langit ketiga, Nabi Harun asw dan nabi Musa asw di langit ke lima dan keenam adalah ilustrasi tentang interaksi Nabi suci saw dengan masyarakatnya setelah Mikraj (al-Raudh al-Unf, 2000, III, 275-277) sekaligus sebagai tanggung jawab individu untuk memperbaiki umat manusia meskipun nanti memperoleh tantangan dari keluarga dekat, dan masyarakatnya; baik yang seiman maupun berbeda iman.
Kembalinya Nabi suci saw kepada umat manusia setelah bermikraj menjadi pertanyaan, bukankah sang nabi suci saw telah bertemu dengan Penciptanya ? sebab secara normal, siapa pun yang telah menemui apa yang ia cintai tentu tidak ingin berpisah. Namun perjalanan Mikraj yang Nabi suci saw lakukan tidak hanya sekedar memperoleh kepuasan spiritual individu semata, melainkan ada tugas berkelanjutan untuk memperbaiki, menata dan merealisasikan keadilan, keamanan dan ketenteraman masyarakat. Secara ideal, shalat sebagai oleh-oleh Mikraj memunculkan kekuatan, keyakinan dan kesalehan tiap individu akan berimbas kepada kedamaian dalam tatanan sosial. Pelajaran dalam shalat melalui imam dan makmum, teguran kepada sang imam Ketika keliru berikut metode menegurnya dan bahkan imam yang berhalangan (akibat kentut dilihat dari aspek fiqh) dapat diganti secara prosedural, bagi mereka yang berada di shaff awal tepat berada di belakang imam menjadi cerminan dalam membentuk sosial bermasyarakat yang diinginkan bersama.
Mikraj sosial memiliki dua fondasi utama yaitu kesabaran dan shalat. Allah swt berfirman (QS: al-Baqarah; 45):
وَٱسۡتَعِينُواْ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلۡخَٰشِعِينَ
Artinya:” jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’”
Sejarah Nabi suci saw memberikan teladan tentang kesabaran dan ketekunan dalam shalat, baik ketika sebelum peristiwa Mikraj; periode Mekkah (shalatnya tertentu) maupun setelahnya di periode Madinah. Kesabaran bersama shalat dalam kategori ayat di atas untuk merubah kebobrokan menjadi berakhlak, kejahatan menjadi kebaikan, kebodohan menjadi berpendidikan dan cinta ilmu, kemiskinan di masyarakat menjadi pemerataan dan keadilan sosial. Nilai Mikraj yang telah berlalu hampir satu setengah milenium menandaskan solusi untuk menyelesaikan problematika sosial adalah pengamalan shalat sebagai realisasi Islam rahmatan li al-‘alamin.
wa Allahu a‘lam bi al-shawâb…
foto : Antara Foto/Zabur Karuru.