Nuzul al-Qur’an dan Tanggung Jawab serta Hak Pekerja

EMBUN JUM’AT

Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA

Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu | Wakil Ketua Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia bidang Pendidikan Agama dan Budaya, Sukoharjo, Jawa Tengah.


Tanya jawab panjang terjadi di sebuah majelis antara Heraklius raja Bizantium Romawi dengan pedagang Mekkah yang diwakili oleh Abu Sufyan (w. 31/33/34 H) sebelum menjadi Muslim. Salah satu pertanyaan sang kaisar kepadanya tentang siapa pengikut Nabi suci Muhammad saw, apakah mereka orang kaya atau semisal kaum aristokrat dan borjuis ataukah orang-orang lemah; proletar; mustadha‘fîn ?, suami Hindun (w. ± 13 H ) tersebut tak dapat mengelak untuk segera menjawab kalau Muslim awal saat itu adalah orang-orang yang lemah (cuplikan hadis Bukhari).

Turunnya al-Qur’an dan misi risalah Nabi suci saw seperti misi para nabi sebelumnya, di antaranya yaitu mendudukkan dan menempatkan kewajiban dan hak manusia termasuk hak memperoleh imbalan sesuai dengan tanggung jawab dari pekerjaan yang telah mereka laksanakan. Al-Qur’an turun tidak hanya sebagai petunjuk bagi orang yang bertaqwa (QS: al-Baqarah; 2) dan beriman (QS: al-Naml; 1-2) serta untuk orang yang baik saja (QS: Luqman; 2-3), melainkan bagian dari tujuan turunnya al-Qur’an adalah menjadi petunjuk untuk manusia; هدى للناس (QS: al-Baqarah; 185) sebagaimana Taurat dan Injil (QS: ali Imran; 3-4) sebagai petunjuk bangsa Israil (QS: al-Sajadah; 23).

Saat Islam hadir di abad 7 masehi, baik di Mekkah, Jazirah Arab, Bizantium Romawi dan Imperium Persia serta belahan bumi lainnya, perbudakan telah menjadi makanan empuk sehari-hari. Para budak bekerja penuh waktu, bahkan dipaksa dan tanpa diberi imbalan, kalaupun ada maka tidak berbanding lurus dengan tenaga, waktu dan pikiran yang mereka kerahkan saat bekerja atas permintaan tuan-tuan mereka. Rentetan nama-nama seperti Bilal bin Rabah (w. 20 H), ‘Imâr bin Yâsir (w. 37 H) sekeluarga, Shuhaib bin Sinân (w. 38 H) di antara budak-budak yang memperoleh kesewenangan aristokrat Quraisy, bahkan siksaan mematikan terutama ketika mereka menjadi Muslim.

Hak dan kewajiban pekerja maupun yang memberi pekerjaan, dalam Islam terdapat norma-norma yang berimbang antara keduanya. Pekerja melaksanakan dengan baik pekerjaannya sementara yang memberi pekerjaan mengupahi sesuai kesepakatan dan standar yang berlaku. Upah berdasar kesepakatan tidak lepas dari kebiasaan yang ada dalam sebuah masyarakat yang dewasa kini diatur oleh undang-undang tentang waktu dan upah minimum standar yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya/ propinsi (UMP), kota dan kabupaten (UMK). Logika ini sederhana, perbedaan upah tersebut disebabkan perbedaan ongkos hidup di setiap tempat berbeda antara satu dengan lainnya, dan tentu upah tersebut tidak lebih rendah dari upah minimum yang diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan seperti dilansir oleh Liputan6.com (02 Maret 2021)  

Dalam hadis, konteks tersebut dapat ditemukan di rentetan riwayat Bukhari tentang mereka yang bekerja setengah hari, mereka yang bekerja sampai waktu Ashar, dan bahkan mereka yang bekerja dari Ashar sampai malam;lembur (Bukhari dalam kitâb al-Ijârah). Hadis-hadis itu mengatur tentang keseimbangan antara waktu bekerja dengan upah yang akan diterima. Meski demikian pemberi kerja dapat memilih orang tertentu yang dapat bekerja di luar jam kerja normal; lembur, seperti dalam ilustrasi penggalan hadis فذلك فضلي أوتيه من أشاء…. maka demikian keutamaanku (kebijakan pemberi kerja) aku memberikannya (pekerjaan itu) kepada siapa yang aku ingin…

Orang yang dipilih dan diberi amanah untuk bekerja lembur maupun bekerja pada aktifitas yang khusus; yang tak semua orang dapat melakukaknnya, biasanya memiliki kriteria sebagai pekerja yang handal, misalnya profesional, memiliki keahlian khusus, ulet dan sebaginya. Merekrut pekerja untuk sebuah perusahaan, kantor, toko dan sebagainya telah dipraktekkan hal-hal itu ketika menyeleksi pegawainya. Secara mendasar al-Qur’an memberi panduan untuk memilih pekerja yang kuat dan amanah (QS: al-Qashash; 26). Meski ayat ini terkait dengan kisah Nabi Musa asw., tetapi dua kriteria umum tersebut telah mencakup tentang pekerja yang kuat fisik, sehat, termasuk kuat dan cakap dalam menyelesaikan problema di saat bekerja serta pekerja yang dapat dipercaya.

Sementara seorang pekerja diminta agar senantiasa menjiwai pekerjaan yang dilakoninya, sebab sebuah pekerjaan tidak akan menghasilkan nilai yang maksimal sesuai target bila pekerjanya melaksanakan secara asal-asalan. Dalam riwayat Abu Ya’la al-Mushiliy (w. 307 ) dan lainnya, Nabi suci saw bersabda:

إن الله يحب إذا عمل أحدكم عملا أن يتقنه

Artinya: “sungguh Allah swt selalu menyukai bila seseorang dari kalian mengerjakan suatu pekerjaan, ia mengerjakannya dengan baik ( apik) 

Hadis ini sebagai keterangan dari praktek kebiasaan Nabi suci saw bila bekerja, maka akan dikerjakan dengan baik seperti dalam riwayat Muslim dari siti Aisyah (w. 57 H). Pekerjaan yang diselesaikan dengan baik dimulai dengan keuletan, ketekunan, tanggung jawab dan amanah.

Kedua riwayat tersebut juga menunjukkan tentang sebuah pekerjaan dan pekerjanya tidak hanya dinilai dengan materi belaka meski ini termasuk salah satunya, namun dalam Islam, pekerjaan yang dikerjakaan dengan indah, baik dan teliti memperoleh ganjaran pahala di sisi Allah swt. Bekerja adalah kesinambungan amal dunia dan akhirat. Maka tak heran pemberi pekerjaan; mandor; tuan tanah yang berlaku sewenang-wenang dengan pekerjanya termasuk salah satu dari golongan orang yang akan dimusuhi Allah swt seperti dalam hadis qudsi riwayat Bukhari:  

قال الله ثلاثة أنا خصمهم يوم القيامة  …..ورجل استأجر أجيرا فاستوفى منه ولم يعطه أجره

Artinya: “ Allah swt berfirman, ada tiga (kelompok ) Aku memusuhi mereka di hari kiamat… (salah satunya) dan orang yang menyewa pekerja, lalu pekerja itu telah menuntaskan (pekerjaan itu) darinya (orang yang menyewa/mempekerjakannya) namun yang menyewa tidak memberi padanya (pekerja) upahnya.”

Tentu bagi pekerja, amanah yang dipikul olehnya termasuk hal-hal yang patut dia jaga, bahkan dalam situasi kacau sekalipun, seorang pekerja tetap dituntut untuk menjaga apa yang menjadi tanggung jawabnya.

Dalam Usud al-Ghaba,  dikisahkan sahabat Aslam al-Habasyi al-Aswad (w. 7 H) wafat di perang Khaibar. Kala itu ia berstatus sebagai pekerja bagi seorang Yahudi di Khaibar, pekerjaaannya mengembalakan kambing. Waktu perang berkecamuk, atas saran dan doa dari Nabi suci saw, maka Aslam melepas kambing-kambing milik tuannya agar hewan ternak itu terarah secara berkelompok ke benteng Khaibar untuk memudahkan akses jalan masuk hewan tersebut. Sebuah praktek tentang besarnya tanggung jawab pekerja dan keseimbangan untuk memberikan hak-haknya oleh pemberi pekerja.

wa Allahu a‘lam bi al-shawâb…

Leave a comment

Tentang Kami

alkhairaat-ternate.or.id adalah situs resmi milik Alkhiraat Cabang Kota Ternate, sebagai media silaturahmi dan dakwah dengan menyajikan informasi seputar pendidikan, dakwah dan sosial, serta mempromosikan tulisan-tulisan rahmatan lil-alamin yang berakar pada kearifan tradisi

Hubungi Kami

Alamat: Jl. Kakatua, No.155, Kelurahan Kalumpang, Ternate Tengah, Kota Ternate, Provinsi Maluku UtaraTelepon: (0921) 312 8950email: alkhairaat.ternate@gmail.com