Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta dan Sekretaris Umum Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia | email: jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Ternyata bersyukur terhadap orang yang memberi nikmat menjadi bagian kajian ulama yang cukup serius. Pertanyaan tentang apakah orang yang memperoleh nikmat wajib bersyukur kepada pemberi nikmat dilihat dari aspek akal (logika), pendengaran (panca indera), maupun fitrah? merupakan polemik klasik yang pernah terjadi antara Mu‘tazilah, Asy‘ariyyah maupun ahli Sunnah (ahli Hadis?) mengenai bersyukur kepada pemberi nikmat (شكر المنعم) tersebut (al-Ghazali, 1993). Terlepas dari kontroversi dimaksud, bersyukur merupakan sesuatu yang dinilai lumrah bagi orang yang memperoleh nikmat atau anugerah tertentu dari siapapun yang memberikan kepada orang tersebut.
Bersyukur memiliki arti berterima kasih; mengucapkan syukur. Syukur sendiri lebih ditekankan terkait rasa terima kasih pada Allah swt (KBBI online) meskipun ucapan terima kasih tersebut tidak dibatasi hanya kepada Allah swt, tetapi juga kepada sesama makhluq-Nya. Bersyukur pada manusia dengan memberikan balasan atas kebaikannya, jika tidak mampu maka ucapan terima kasih dapat mewakilinya meskipun belum sempurna. Bersyukur pada makhluq lain; hewan, tumbuh-tumbuhan maupun alam juga layak dilakukan, sebab keberadaan mereka membantu manusia menjalankan fungsi kemanusiaannya secara wajar. Dapat dibayangkan jika tumbuh-tumbuhan mati dan kering, pasti manusia akan mengalami kesulitan memperoleh asupan makanan bahkan tidak mampu untuk hidup.
Dalam pergaulan sehari-hari, sesama manusia saling membantu dan tolong menolong untuk memenuhi kebutuhan, keperluan dan keinginannya bahkan terkadang bantuan itu dalam kejahatan dan keburukan, hal yang Islam melarangnya secara tegas (QS: al-Maidah; 2). Dari aspek tolong menolong, jika manusia bermasyarakat merupakan bagian dari fitrah; kodratnya sejak lahir, maka bantuan kepada sesama juga merupakan bagian darinya sehingga ucapan syukurpun secara kodrati patut dan secara sadar akan muncul dari mereka yang menerima bantuan kepada yang memberi bantuan. Bantuan tersebut dapat dikategorikan bagian dari nikmat yang diterima.
Orang yang tak pernah bersyukur; mengucapkan terima kasih kepada pihak yang membantu dan memberi nikmat padanya, maka orang tersebut dinilai tidak berterima kasih, dan juga dapat berarti tidak berterima kasih pada Allah swt sebagaimana hadis Nabi suci Muhammad saw riwayat Turmuzi (w. 279 H) dari Abu Sa’id al-Khudri (w. 74 H):
من لم يشكر الناس لم يشكر الله
“siapapun yang tidak bersyukur (berterima kasih) pada manusia, maka dia (juga seperti) tidak bersyukur pada Allah (swt)”
Pakar hadis al-Khattabi (w. 388 H) menyatakan hadis tersebut memiliki dua makna: pertama, orang yang secara mendasar (tabi’at) dan kebiasaannya ingkar kepada nikmat yang manusia berikan, dan meninggalkan syukur terhadap kebaikan mereka, orang tersebut kebiasaanya memang mengingkari nikmat Allah dan syukur pada-Nya; kedua, Allah tidak menerima rasa syukur seseorang pada-Nya atas kebaikann-Nya pada orang itu bila dia tidak bersyukur terhadap kebaikan orang lain dan mengingkari kebaikan mereka (Tuhfah al-Ahwadzi). Dalam konteks penjelasan ini secara mendasar setiap orang layaknya berterima kasih pada pihak yang sudah membantu dan memberi kenikmatan padanya.
Dalam kehidupan duniawi, bantuan seseorang pada orang lain dapat dikategorikan pada dua hal: pertama, bantuan itu muncul dari orang yang memang memilki kewajiban lantaran tugasnya di bidang itu. Misalnya polisi membantu pengendara motor/mobil yang kehilangan arah jalan, atau pegawai di instansi pemerintah/swasta membantu rekan kerjanya dalam tupoksi pegawai tersebut yaitu mengumpulkan hasil kerja dari rekan kerja di instansi tersebut; kedua, bantuan muncul dari orang yang sebenarnya tidak memiliki kewajiban di bagian tersebut, namun atas kebaikannya (إحسانه), dia bersedia membantu orang lain agar bisa lebih baik. Misalnya dosen melihat potensi dari salah satu mahasiswanya, maka dosen tersebut memberikan cara, jalan dan bahkan ikut terlibat mencarikan beasiswa untuk kelangsungan studi mahasiswa tersebut. Kedua bentuk bantun tersebut patut diucapkan terima kasih kepada pihak yang membantu, meski ucapan terima kasih jauh lebih layak diterima pada mereka yang berada di kategori kedua. Tentu dengan catatan bantuan kategori kedua tidak melanggar hak-hal pihak lain.
Bila ucapan terima kasih saja sebagai bentuk rasa syukur manusia kepada manusia lain dinilai sudah cukup, maka bagaimana dengan ucapan syukur kepada Allah swt, Zat yang setiap hari memberikan kepada kita udara untuk bernafas, air untuk memenuhi kebutuhan hidup dan aneka kenikmatan lain yang tak terhitung (QS: al-Nahl; 18) tentu lebih sangat layak. Mendekati akhir tahun 2024, aneka kenikmatan telah kita terima, baik dari manusia apalagi dari sang Khaliq, maka bersyukur merupakan jalan orang-orang yang tahu akan kekurangan dirinya sekaligus manisfestasi dirinya sebagai manusia yang mampu memanusiakan manusia lain.
wa Allâhu a‘lam bi al-shawâb
ilustrasi: foto Arif Ali/AFP/Getty Images