Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta dan Sekretaris Umum Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia | email: jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Tidak jarang muncul di film bahwa sosok malaikat memiliki wajah dan tubuh yang bercahaya, berbaju putih bersih dan terkadang menggunakan sayap. Entah sosok itu berupa orang dewasa maupun anak kecil. Keberadaan sayap mereka dibenarkan al-Qur’an (QS: Fathir; 1, HR Ahmad dari Ibn Mas’ud w. 32 H). Hal menarik ilustrasi malaikat sebagai anak kecil sebab malaikat tidak bermaksiat (berbuat dosa) bahkan senantiasa taat keapda Allah swt, seperti anak kecil yang belum baliqh belum dihitung berdosa (HR. Abu Daud dan lainnya).
Malaikat diciptakan dari cahaya sebagaimana riwayat Muslim (w. 256 H) bersumber dari ‘Asiyah (w. 57 H): خلقت الملائكة من نور “malaikat diciptakan dari cahaya”. Hadis ini menunjukkan asal muasal ciptaan malaikat berbeda dengan iblis. Sejatinya iblis bukanlah dari bangsa malaikat, meskipun jumhur ulama menggolongkan iblis dari jenis malaikat. Pendapat yang dikemukakan al-Qurthubi (w. 671 h) tersebut kalaupun diterima tentu dengan melihat aspek kuantitas malaikat itu sendiri yang jumlahnya banyak, maka tidak menafikan kemungkinan (ihtimal) ada sebagian kecil mereka diciptakan dari api yang kemudian disebut bangsa Jin, dan iblis dari bangsa ini (QS: al-Kahfi; 50), sedangkan mayoritas malaikat diciptakan dari cahaya.
Sifat dasar dari cahaya adalah menerangi, maka malaikat dalam konteks penciptaan manusia sebagai khalifah mengajukan semacam protes kepada Allah swt tentang dua hal yaitu akan terjadi fasad (kerusakan) dan safak (menumpahkan darah/saling bunuh) jika manusia diciptakan. Protes malaikat bukan berdasar iri dan dengki sebagaimana iblis, namun untuk kemaslahatan. Malaikat selalu patuh pada Allah swt seperti firman-Nya QS: al-Tahrim; 6:
يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارة عليها ملائكة غلاظ شداد لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون
Artinya: “ Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adqalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
Ayat di atas menunjukan dua hal penting tentang keinginan malaikat kepada manusia sebagai khalifah. Pertama, konsisten (istiqamah) dalam ketaatan dan kebenaran. Malaikat melihat manusia berpotensi berbuat fasad dan safak. Pandangan mereka kepada manusia berasal dari pandangan mereka pada diri diri mereka sendiri, seolah mengabaikan aspek penciptaan manusia dan tugas yang berbeda dengan mereka. Oleh sebab itu, Allah swt menjawab bahwa Dia lebih tahu apa yang malaikat tidak tahu (QS: al-Baqarah; 30). Keinginan malaikat seperti itu dapat dipahami sebab mereka senantiasa taat kepada Allah swt, bertasbih, bertahmid, bertakbir, sujud, dan sebagainya sebagai bentuk ketaatan. Kedua, manusia seolah tidak boleh berbuat salah dalam mengemban tugas khalifah. Dalam konsep ini malaikat mungkin ‘mengajari’ manusia tentang filsafat idealisme. Akhirnya malaikat meski sadar bahwa manusia tentu berbeda dengan mereka, namun mereka akan sangat marah pada manusia pendosa dan tidak segan-segan menyiksa manusia kelak di neraka seperti dipahami dari dua kata dalam ayat di atas yaitu غلاظ شداد.
Jawaban Allah swt kepada malaikat menunjukan substansi tugas manusia sebagai khalifah yang juga menunjukkan perbedaan tajam dengan malaikat yaitu memakmurkan dunia menjadi maslahah dengan segala potensi yang Allah berikan pada manusia. Untuk menopang hal itu Allah swt menganugerahkan akal sekaligus nafsu kepada mereka. Manfaat akal sudah pasti dipahami semua orang, sementara jarang orang memahami manfaat nafsu. Di antara manfaat nafsu (syahwat) misalnya mencintai, dan kekuasaan. Cinta menjadikan manusia terus berkembang biak, kekuasaan menjadikan munculnya aneka peradaban, meski yang Allah swt inginkan cinta dan kekuasaan berada di koridor-Nya. Namun Dia yang Maha Penasih dan Penyayang teramat sangat memahami ciptaan-Nya yaitu manusia yang berdosa dan salah maka dibukalah pintu taubat untuk kembali kepada-Nya dan tidak mengulangi dosa dan kesalahan. Konteks inilah yang menjadikan malaikait kagum terhadap manusia yang mampu menyeimbangkan nafsu dan akalnya.
wa Allahu a’lam bi al-shawâb