Tanggapan dari Tanggapan

Dr. Ja’far Assagaf, MA.

jafar.assagaf@uin-suka.ac.id

Tulisan ini adalah tanggapan untuk tanggapan Imad penulis buku Menakar yang diendorse oleh Syafiq. Sebenarnya saat penulis memperoleh tanggapan Imad terhadap e-book Konektivitas, penulis langsung menanggapi di kolom komentar opini Imad tersebut (https://www.nahdlatululum.com/tanggapan-terhadap-buku-dr-jafar-assegaf-ma-berjudul-konekttifitas-rijal-al-hadits-dengan-sejarah-dalam-menelusuri-nasab/ diakses 31 Mei 2023) sayangnya tidak dimuat di kolom komentarnya alias dihapus. Buku konektivitas ditanggapi secara lewat saja oleh Imad, tanpa menunjukkan daya argumentasi yang kokoh dengan data-data empiris. 

Berikut tanggapan penulis terhadap tanggapan Imad:

Pertama, jika benar tradisi ilmiah yang Imad gunakan di bukunya Menakar (lihat tulisannya dan opininya 30 Mei 2023 link di atas termasuk opininya yang lain di website tersebut), maka mengapa tidak mau mengakui bahwa tulisan menakar sengaja atau menframing bahwa Ubaidillah baru hadir di abad 14 H.? Padahal sebelum itu sudah ada. Pada poin ini akui dahulu. Jika benar-benar ilmiah maka terimalah kebenaran bahwa buku Menakar sengaja framing Ubaidillah baru resmi di abad 14 H. Bahkan dalam buku Menakar juga tertulis “Abad Sepuluh Nama Abdullah dan Keturunannya Mulai Matang Walau Belum Disebut ‘Ubaidillah”, lalu al-Sakhawi itu siapa? Jika ilmiah mengapa menframing dengan cara menyatakan ahli nasab Ubaidili (w. 437 H), al-Umari (w. 443/459/490 bahkan Ibn ‘Inabah (w. 826/8 H) dan lainnya tidak menyebut Abdullah. Padahal merekapun tidak memuat Ali dan Husein.  Mengapa tidak menyebutkan kekeliruannya jika benar-benar ilmiah. Termasuk ilmiah adalah memaparkan data-data yang ada dahulu bukan menyembunyikan sebagian data. Selanjutnya data-data yang ada jika Imad tidak bisa menerima, maka bangunlah logika (putar otak) untuk meruntuhkannya dengan data tentunya bukan dengan pernyataan tidak ada di kitab padahal logika sejarah berkesinambungan dengan data membuktikan itu ada. Juga termasuk ilmiah bukan sejak awal telah berusaha menskip (melewati dengan maksud menyembunyikan dan framing?) sebagian data. Seperti Imad menyembunyikan nama Ubaidillah dalam kitab al-Sakhawi (830-902 H). benarkah Imad baru baca al-Sakhawi pada 2023? Jujurlah pada diri sendiri.

Kedua, mengapa berpotensi ke qadzf? Sebab dengan menyatakan Ubaidillah bukan anak Ahmad bin Isa berarti membatalkan sekian kesaksian keluarga saat itu (bukan sekarang) dan telah terkonfirmasi nasab Ba ‘alwi dan itu berarti Ubaidillah anak Ahmad bin Isa. Jika menyatakan Ibu Ubaidillah bukan isteri Ahmad tentu harus dengan bukti, sementara telah diakui saat itu (bukan saat ini) bahwa Ba’alwi yang ada sampai masa al-Janadi ke al-Sakhawi tidak berbeda (baca Narasi al-Janadi I-III) berkesinambungan maka Ubaidillah anak Ahmad. Dari masa Abu Jadid ke masa ‘Ubadillah dengan metode musyajjar. Potensi qadzf itu ada karena sekian banyak pengakuan Ulama (di antaranya belasan orang yang disebut al-Khatib al-Tarimi dan al-Samarqaandi deretan ulama dari abad 6-9 H) bahwa Ubaidillah anak Ahmad maka pengingkaran Imad bahwa Ubaidillah bukan anak Ahmad menunjukkan dua hal; (1) Ahmad berpotensi melakukan hubungan di luar nikah lalu melahirkan Ubaidillah  atau (2) Ubaidillah mengakui dirinya anak Ahmad dari perempuan yang mungkin pernah “dekat” dengan Ahmad. Ini logika lain selain yang dijelaskan Imad. Dua hal tersebut dapat muncul jika melihat pengingkaran Imad verus pengakuan ulama yang telah disebutkan (al-Janadi dan lainnya) terkait nasab Ba’alwi. Jika menyatakan bahwa Abdullah dan Ubaidillah berbeda maka silahkan baca lanjutan esai Narasi al-Janadi (sebenarnya di buku konektivitas sudah disebut juga). 

Ketiga, Imad tidak jelas menyebutkan siapa yang menyisipkan Abdullah disana ke Ubaidillah? Dari tulisannya tentang Habib Ali al-Sakran (25 April 2023) nampaknya ke situ tapi itu sudah penulis tulis esai sebanding berjudul Terdeteksi al-Sakran 27 April 2023. Juga esai Narasi al-Janadi 1-3. Menunjukkan al-Sakran bukanlah orang yang pertama menyatakan Ubaidillah apalagi mencangkoknya. Jawablah dengan data dan logika bukan dengan pernyataan tanpa data. Sebab penulis sudah menulis dengan data dan logika tentang hal ini.

Keempat, Imad tidak paham bahasa yang penulis gunakan. Penulis ingin menunjukkan bahwa non Ba’alwi sekali lagi non Ba’alwi kawin mawin dalam hal ini turunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib dengan keluarga Ba‘alwi. Jika Ba’alwi bukan turunan Husein tentu turunan Hasan dalam hal ini keluarga al-Hasani dan lainnya (lihat Konektivitas) tidak akan mengawinkan anak perempuan mereka apalagi di masa-masa itu. Disini kita tidak bicara hukum (yg khilaf/ada perbedaan, terlepas kuat atau lemah pendapat itu) bukan disini ranahnya, tapi praktek turunan Hasan bin Ali tersebut telah menunjukkan mereka menikahkan anak-anak gadis mereka dengan Ba’alwi sebab mereka meyakini nasab Ba‘alwi jelas. Perlu diingat menikah dengan memilih nasab tidak menyimpang dari agama sesuai hadis al-Bukhari (w. 254 H), meski yang utama adalah agama. 

Kelima, lagi-lagi Imad menginginkan segala sesuatu itu harus ada di kitab. Bukankah banyak kuburan para ulama, wali tidak ditulis dalam kitab namun telah dikenal dan disebut berkesinambungan. Selain itu al-Khatib al-Hadarmi (w. 850/5 H) telah menyebutkan seperti dinukil Bamakhramah (II, 618). Adanya pengakuan keluarga Ba’alwi dan masyarakat di Hadramaut tentang kuburan Ahmad bin Isa sebenarnya telah cukup menunjukkan hal tersebut. Sebagai contoh, misalnya kuburan datuknya Imad sekarang ada di Banten, tentu terkonfirmasi oleh banyak orang. Lalu 200 tahun kemudian, ada yang menyatakan bahwa kuburan itu bukan kuburan datuknya karena tidak ditulis dalam kitab lalu kita menyatakan datuk tersebut bukan wafat di tempat itu? Pahamkah sampai disini?

Satu hal lagi jika Imad menyatakan bahwa “Sungguh keanehan luar biasa” terkait data para ruwat. Imad nampak berusaha menframing atau mungkin mengingkari isnad? mengapa? sebab para ruwat yang hidup di abad I-III H baru muncul di kitab-kitab di abad setelah itu. Seperti telah penulis contohkan logika dan datanya di konektivitas. Justeru konfirmasi kitab ruwat datang dari masa belakangan di masa hidup para perawi tersebut. Pertanyaannya dari mana nukilan nama dan biografi para rawi itu? jika bukan dari kitab yang muncul belakangan? Lalu bagaimana para ruwat (perawi) itu dinilai ada/hidup bukan fiktif sebelum kitab-kitab itu ditulis? tentu dengan pola isnad yang disampaikan melalui periwayatan maupun aneka catatan saat itu yang kemudian terkonfirmasi lalu dimuat dalam kitab. Konteks ini yang coba diingkari kesamaan pola isnad dengan penukilan nasab. Sebab pola musyajjar dalam nasab melalui orang perorang (anak, ayah, kakek) tentu melalui periwayatan, catatan yang terkonfirmasi para Ahli (nasab, ahli hadis, sejahrawan) seperti nasab Ba’alwi, disinilah letak kegagalan atau framing Imad lainnya. Ringkasnya, Imad tidak mau menerima contoh-contoh empiris dan logika yang terjadi di kalangan ulama hadis, sejarawan dan nasab yang telah berlangsung selama ini.

2 Comments

  • Denisoni
    Posted Juni 4, 2023 9:51 pm

    Luar biasa…sangat mencerahkan

  • Hadi Alhadi
    Posted Juni 11, 2023 5:37 am

    Salam pak Dr Habib, afwan jikalau berkenan,
    saya sarankan supaya dibuatkan konten YouTube saja, di mana habib jelaskan secara ringkas (±15-20 menit) mempresentasikan makalah² habib ini..
    Sehingga nanti akan jadi beberapa episode konten YouTube..

    Ana berharap audiensnya berikut kebermanfaatannya akan lebih luas.. jazâkallâh Khayran ????????

Leave a comment

Tentang Kami

alkhairaat-ternate.or.id adalah situs resmi milik Alkhiraat Cabang Kota Ternate, sebagai media silaturahmi dan dakwah dengan menyajikan informasi seputar pendidikan, dakwah dan sosial, serta mempromosikan tulisan-tulisan rahmatan lil-alamin yang berakar pada kearifan tradisi

Hubungi Kami

Alamat: Jl. Kakatua, No.155, Kelurahan Kalumpang, Ternate Tengah, Kota Ternate, Provinsi Maluku UtaraTelepon: (0921) 312 8950email: alkhairaat.ternate@gmail.com