Inkonsistensi, Rancu, dan Lemahnya Nalar tentang Syuhrah dan Istifadhah di tulisan Menakar dan Terputus (Bagian II)

Penulis: Dr. Ja’far Assagaf., MA 

email: jafar.assagaf@uin-suka.ac.id

Keenam, menghukumi palsu kitab Abna Imam dari segala aspek. Imad menyatakan kitab ini judulnya palsu. Pengarangnya palsu. Tahunnya palsu. Isinya palsu (Terputusnya, 71) namun menerima dengan senang hati kitab al-Syajarah al-Mubarakah adalah karya ‘Razi’. Padahal Abu al-Muammar Ibn Thabathaba (w. 478 H) telah dikenal sebagai ahli nasab seperti disebutkan oleh Al-Anbari (w. 577 H), Ibn Jauzi (w. 597 H) dan Ibn Hajar (773-852 H) (Konektivitas, 24). Ini berarti Abu al-Mu‘ammar sebagai ahli nasab telah terkonfirmasi oleh Ahli. Jadi ada indikasi kuat bahwa kitab tersebut adalah karyanya. Bertahan dengan menyatakan Abna al-Imam karya Ibrahim Muhammad al-Thabathaba’i (w. 199 H) adalah a historiy (tidak berdasar sejarah) sebab di kitab itu disebut al-‘Uraidhi wafat pada 210 H dan turunnanya maupun tradisi penulisan kitab nasab syi’ah tentunya pasca 12 Imam; setelah 265 H (Konektivitas, 24-25). Kalau mau berasumsi, maka kitab Abna al-Imam kemungkinan karya dua orang sekaligus yaitu Ibrahim ibn Thabathaba dan Abu al-Muammar Ibn Thabathaba (seperti karya al-Majmu Syarh al-Muhadzab tidak hanya karya al-Nawawi w. 676 H). Ini pun harus diteliti

Maka disini harusnya bukan palsu atau tidak palsu yang dipersoalkan dari kitab Abna al-Imam, melainkan mana karya Ibrahim (jika setelah diteliti) dan mana karya Abu al-Muammar. Demikian pula mana yang ditambah oleh Ibnu Shadaqah (w. 1180), al-Saffarini (w. 1188 H) al-Maqdisi (w. 1350 H) dan Jamal al-Lail (lahir 1938 M)? Maka yang diperlukan adalah meneliti dan melihat langsung manuskrip Abna Imam bukan dengan menyatakan semuanya palsu.  

Sebaliknya Razi Sunni yang tidak dikenal sebagai ahli nasab terlebih kitab dengan nama al-Syajarah al-Mubarakah tidak ada ulama yang menyatakan itu adalah karya Razi Sunni kecuali setelah 805 tahun lebih melalui al-Mar’asyi (w. 1990 M). Lalu bagaimana cara Imad mengkonfirmasinya kalau itu karya Razi Sunni? bahkan bagaimana metode agar kita percaya itu karya ulama abad 6-7 H? apalagi harus dengan kitab sezaman atau yang dekat dengan Razi Sunni pun tidak ada yang menyebutnya. Mengapa Imad dengan lapang dada menerimanya? Berikutnya, jika menyamakan penyebutan al-Qusthanthini al-Hanafi (Haji Khalifah 1067 H) bahwa Razi punya karya namanya Bahrul Anshab itu juga bermasalah sebab selain jenis kitabnya beda, juga tertolak dengan logika aneh Imad sendiri tentang zaman terdekat. Jarak wafatnya Razi Sunni ke al-Qusthanthini itu 461 tahun lamanya. Apalagi Zarkan dalam penelitiannya menyatakan Bahrul Anshab tidak bisa dinisbatkan ke Razi Sunni (Konektivitas, 54). Mengapa dan bagaimana (logika dan metode apa) yang Imad pakai? Bukankah ini lucu dan pasti inkonsistensi.

Ketujuh, inkonsistensi dalam hitungan abad. Imad menjadikan kitab al-Syajarah sebagai kitab abad 6 H meski Razi Sunni wafat pada 606 H. Dan menjadikan kitab al-Fakhri sebagai kitab abad 7 H padahal al-Marwazi wafat 614 H (Menakar, 10; Terputusnya, 17-18). Bukannya keduanya berada di angka pasca 6 H bahkan belum melewati satu dasawarsa yaitu dari 606 H ke 614 H. Lalu meletakkan al-Thaqthaqi sebagai ulama abad 8 H karena wafat pada 709 H (Menakar, 11; Terputusnya, 19) apa patokannya menjadikan Razi sebagai ulama abad 6 sementara al-Marwazi di abad 7, al-Thaqthaqi di abad 8? Demikian pula, menjadikan al-Sakhawi (830/1-902 H) bersama kitabnya di abad 10. Imad berkata: Imam Sakhowi hidup abad ke 10 H. ia wafat tahun 902 H. dalam kaidahnya: kitab abad sepuluh (Terputusnya, 70). Namun ia juga menulis karya al-Sakhawi tersebut di abad 9 (Terputusnya, 46).

Secara umum, ahli hadis, sejahrawan dan ahli nasab menentukan masa hidup seorang tokoh berdasarkan waktu wafatnya. Misalnya Umar bin Abd Aziz wafat 101 H maka dia adalah tokoh abad II H. Karena abad dimulai dari angka 1 yaitu 1-99/100 H disebut abad 1, 101-199/200 adalah abad 2 H. Pernyataan Imad coba kita pahami/terima bahwa karya al-Sakhawi abad 9 H (karena memang al-Dhau’u al-Lami‘ selesai sebelum abad 10 H) meski ia wafat pada awal abad 10 H. Sayangnya  Imad tidak konsisten seperti terlihat dalam karya al-Syajarah dan al-Fakhri di atas. Sebenanrya penulis telah memberikan contoh terkait ini dengan sebutan masa aktif seorang ulama saat menulis (Konektivitas, 37-38)  

Kedelapan, menyatakan ada dua orang bergelar al-Nufat yaitu Ahmad bin Isa dan Ahmad bin Abi Muhammad Hasan al-Dilal (Menakar, 9, Terputusnya, 16, 19). Padahal jika dilihat dari dari keterangan Ibn A’raj al-Husaini (w. 787 H) yang Imad sendiri mengutipnya (Terputusnya, 19) dipastikan kata min dalam al-‘Umari (Menakar, 9, Terputusnya, 16,) adalah tashif yang seharusnya adalah bin al-Dilal. Ini dikuatkan dengan pernyataan Ibn A’raj tersebut bahwa Ahmad yang diberi gelar al-Nufat tidak lain adalah anak dari Hasan al-Dilal yang juga berkunyah Abu al-Qasim. Penggalan

وكان له اولاد ٕ منهم ابو القاسم احمد الأشج المعروف بالنفاط

Susunan وكان له اولاد (dan dia memiliki anak) kata dia jika dikembalikan ke Hasan al-Dilal berarti Ahmad al-Asyaj yang bergelar al-Nufat berkunyah Abu al-Qasim adalah anak dari Hasan al-Dilal. Jika kata dia (وكان له ) dikembalikan ke Ahmad (bin Isa) juga tidak keliru sebab al-Dilal adalah salah satu turunannya, berarti al-Asyaj adalah turunan dari Ahmad bin Isa. Dan Ahmad bin Isa bukan al-Asyaj.  Berikut pernyataan Ibn A’raj:

واما احمد فأعقب وكان من ولده ابو محمد حسن الدلال ببغداد رآه  شيخنا العمري ببغداد وهو مات بأخره ببغداد وهو بن محمد بن علي بن محمد بن أحمد بن عيسى الرومي وكان له  اولاد ٕ منهم ابو القاسم احمد الأشج المعروف بالنفاط  

Redaksi Ibn A’raj di atas sebenarnya menunjukkan bahwa ulasan dan data Ibn ‘Inabah adalah tepat mengenai Ahmad al-Abah itu bukanlah Ahmad al-Muhajir. Aneka redaksi yang sampai pada kita tentang al-Abah, al-Abhar, al-Ataj (Konektivitas, 63-64) dan al-Asyaj (Terputusnya, 19) semuanya bermuara pada satu orang yang bergelar al-Nufat dan berkunyah Abu al-Qasim dan itu adalah anak al-Dilal. Sementara Ahmad bin Isa adalah moyang al-Dilal. Ini jika dibedakan antara Ahmad bin Isa dengan Ahmad al-Abah. Atau dibuktikan bahwa ada dua orrang yang bergelar al-Nufat yaitu Ahmad bin al-Dilal dan juga Ahmad bin Isa

Keterangan Imad di kedua tulisannya menunjukkan inkonsistensi terkait masalah ini. Oleh sebab itu khususnya saat menampilkan redaksi al-‘Umari dan Ibn Ibn A’raj, ia tidak membahas siapa al-Nufat, namun hanya menukil redaksinya. Bahkan berusaha menframing dengan tidak memuat redaksi lengkap Ibn ‘Inabah tentang al-Ataj adalah al-Nufat (Menakar, 12, Terputusnya, 21) agar mengelabui pembaca?.  Padahal Ibn ‘Inabah jelas menyebut al-Ataj (inilah al-Abah, al-Abhar, al-Asyaj dalam berbagai manuskrip) untuk al-Nufat adalah anak Hasan al-Dilal turunan Ahmad bin Isa yang juga berkunyah  Abu al-Qasim (Ibn ‘Inabah, 245; Konektivitas, 63).

Sketch: 1001 Inventions

Leave a comment

Tentang Kami

alkhairaat-ternate.or.id adalah situs resmi milik Alkhiraat Cabang Kota Ternate, sebagai media silaturahmi dan dakwah dengan menyajikan informasi seputar pendidikan, dakwah dan sosial, serta mempromosikan tulisan-tulisan rahmatan lil-alamin yang berakar pada kearifan tradisi

Hubungi Kami

Alamat: Jl. Kakatua, No.155, Kelurahan Kalumpang, Ternate Tengah, Kota Ternate, Provinsi Maluku UtaraTelepon: (0921) 312 8950email: alkhairaat.ternate@gmail.com