Sepak Bola Indonesia, Kategori Kebutuhan Apa ?

Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA

Dosen UIN SUKA | Sekretaris Umum Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia (ASHILA)|  jafar.assagaf@uin-suka.ac.id


Pernyataan ketua PSSI seperti dilansir oleh INews.id 31 Desember 2021 bahwa “tidak begitu memusingkan kekalahan Indonesia dari Thailand di leg I final piala AFF 2020 sebab beda kualitas” pernyataan ini akan tepat sebagai penyemangat bahkan untuk menghibur, namun bila dilihat dari perjalanan sepakbola Indonesia sejak 1930 (PSSI berdiri), dan lebih khusus di AFF, bergabung pada tahun 1984 maka pernyataan ketua PSSI tersebut cukup mengherankan. Secara statistik dan logika perkembangan sepakbola negeri ini layaknya terus meningkat dari tahun ke tahun dan pada akhirnya akan membuahkan hasil juara AFF bahkan bisa masuk ke piala dunia nantinya.

Kekalahan tim Garuda Indonesia dari tim Gajah Perang Thailand di Piala AFF kali ini bukanlah yang pertama sejak tahun 1998, namun sudah terjadi tidak kurang dari 9 kali kekalahan, baik di babak fase grup, semi final dan final. Indonesia bahkan kerap kali menelan pahitnya kekalahan dari Thailand justeru saat berada di partai puncak yaitu final tahun 2000, 2002 dengan adu pinalti, 2016 dengan agregat dari dua pertandingan dengan skor 3-2 untuk Thailand. Terakhir, piala AFF tahun 2020 di Desember 2021, Thailand memperoleh kemenangan telak atas Indonesia dari gabungan dua Leg dengan skor 6-2 (4-0). Indonesia pernah menang 3 kali dari Thaliand yaitu di fase grup tahun 2010, semi final leg pertama 2008 tapi kalah di leg kedua di tahun yang sama yang menyebabkan Thailand melangkah ke final bersama Vietnam. Satu-satunya kemenangan Indonesia atas Thailand di partai ‘agak muncak’ saat perebutan tempat ketiga di piala AFF 1998 melalui adu pinalti seperti dilansir sport.detik.com (29/12-2021).  Indonesia terhitung telah 6 kali mencapai final di piala AFF, sayangnya tidak satupun memperoleh juara piala bergengsi untuk kawasan Asia Tenggara tersebut (goal.com 27/12-2021).

Banyak netizen di media sosial menyatakan kalau menang kalah dalam pertandingan adalah biasa -tak sedikit, yang justeru mencemooh- begitu juga dengan ungkapan bahwa tim garuda telah berusaha sekuat tenaga dan patut diapresiasi. Kedua pernyataan tersebut tidaklah keliru, sebab dalam pertandingan itu ada yang kalah dan ada yang menang demikian pula usaha dari tim garuda sesungguhnya sudah maksimal dan patut diapresiasi terutama saat Leg kedua pada 01-01-2022. Akan tetapi hal tersebut tentu tidak akan tepat dan tidak berhenti di situ saja jika dilihat dari sejarah perjalanan sepakbola negeri ini yang sudah demikian lamanya.

Bila setiap kepengurusan PSSI hanya akan memulai dari awal dan tidak melanjutkan program efisien yang sudah ada sebelumnya ( المحافظة على القديم الصالح) maka sampai kapan lagi persepakbolaan negeri ini akan mencapai generasi emas ? Kita telah melihat statistik dan perjalanan sejarah Sepak Bola Indonesia di piala AFF di atas, di sini patut diajukan pertanyaan, sebenarnya Sepak Bola Indonesia masuk dalam kategori kebutuhan apa ?

Sebelum menjawab petanyaan di atas, perlu dipahami bahwa supporter dan penggemar Sepak Bola di Indonesia teramat banyak, bahkan dapat dinyatakan sebagian dari mereka mungkin telah menjadi ‘gibol’ (gila bola). Oleh sebab itu, olahraga ini akan menjadi bagian dari pemersatu bangsa dan membangkitkan nasionalisme serta mengukir peradaban modern, maka dalam konteks ini perlu diajukan pertanyaan di atas.

Bila merujuk kategori kebutuhan apa sepakbola di Indonesia ? agaknya perlu dianalisis melalui kajian maqashid al-syari‘ah bagian dari ushul fiqh -meski sebagian penulis seperti Jaser Audah cenderung membedakan keduanya tapi bagaimanapun maqashid pada awalnya lahir dari Ushul Fiqh-. Dalam berbagai kitab karya Ushul fiqh misalnya karya al-Ghazaliy (w. 505 H), al-Raziy (w. 606 H) dan al-Amidy al-Hanbaliy tsumma al-Syafi’iy (w. 631 H) maupun kitab yang mengarah pada maqashid seperti Izzuddin (w. 660 H) dan al-Syathibiy al-Malikiy (w. 790 H) dimuat tentang kategori kebutuhan terbagi tiga yaitu: (1) dharuriy/dharuriyyat; (2) hajiy/hajiyat dan (3) tahsiniy/tahsinaat meski masih ada penyebutan lainnya yang bermiripan dengan kategori ketiga.

Menurut al-Syathibiy, dharuriyyat yaitu sesuatu yang harus ada saat menjalankan kemaslahatan agama dan dunia, jika hal itu tidak ada maka kemaslahatan dunia tidak akan berjalan dengan lurus (baik) bahkan akan menuju pada kerusakan dan kekacauan serta musnahnya kehidupan. Adapun hajiyat yaitu sesuatu yang dibutuhkan, dari aspek kelapangan untuk memenuhi kebutuhan itu dan menghapus (mengangkat) kesempitan. Secara umum kesempitan itu menyebabkan aneka kesusahan dan kesulitan yang dapat menghilangkan apa yang dibutuhkan tadi. Jika tidak diperhitungkan (dijaga kebutuhan kepada sesuatu itu), maka orang akan mendapati sejumlah kesusahan dan kesulitan, meski tidak sampai pada tingkatan kerusakan berat yang akan terjadi di kemaslahatan  umum. Sementara tahsinat yaitu mengadopsi/mengambil apa yang sesuai dari aneka kebaikan berasal dari kebiasaan (‘adat) dan menghindari aneka kondisi yang mencemarkan (tercela, buruk), dimana akal sehat membatasinya (tidak dapat menerima keburukan itu).

Bila ditilik dari tiga kategori kebutuhan tersebut dapat dinilai secara umum kalau dharuriyat dimaksud lebih mengarah pada kebutuhan primer, hajiyat pada kebutuhan sekunder dan tahsinat pada kebutuhan tersier. Dalam konteks ini, mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia secara khusus penggemar Sepak Bola, olahraga ini sudah mencapai taraf hajiyat kalau kita enggan menyatakan telah masuk menjadi semi dharuriyat. Penyebutan semi dharuriyat (bahasa penulis) secara teori telah diungkap oleh al-Amidiy (2003). Menurutnya, apa yang disebut tujuan-tujuan dharuriyat berbeda dengan apa yang bukan darinya. Untuk tujuan-tujuan dhahruiyat ada yang asalnya demikian, sementara lainnya bukan. Yang asalnya memang demikian yaitu yang tidak boleh tidak harus ada, inilah yang dikembalikan pada lima tujuan yaitu menjaga jiwa, agama, akal, keturunan dan harta. Sementara pada yang bukan asalnya, dia adalah pelengkap dari dhauriyat yang asal tetapi masih merupakan bagian dari yang asal tersebut. al-Amidiy secara lugas mencontohkan dihad bagi peminum khamar untuk menjaga akal adalah dharuriyat asal sebab untuk menjaga akal. Jika untuk menjaga akal maka sudah diperoleh dengan cara mengharamkan minum yang memabukkan -inilah asal- bukan dengan mengharamkan yang sedikit, sebab yang sedikit diharamkan untuk melengkapi.

Berpijak dari sini, apakah Sepak Bola di Indonesia masuk dalam bagian yang semi dharuriyyat ataukah ia hanya bagian dari hajiyat ? bila ditilik dari  penggemar, konteks semi dharuriyat mungkin dapat diterapkan, sebab bagi sebagian penggemar bahkan penggila bola, olahraga ini merupakan bagian tak terpisahkan dari diri mereka. Sebagian mereka bahkan sampai merusak fasilitas umum, tawuran dan aneka tindakan anarkhis lainnya jika tim kesayangannya kalah. Peristiwa seperti ini dapat dilihat dari sejarah perjalanan penggemar sepak bola negeri ini. Ini menunjukkan kalau kebutuhan sebagian masyarakat Indonesia kepada Sepak Bola bukan sekedar kebutuhan biasa lagi, namun sudah merupakan bagian tak terisahkan dari diri mereka.

Bila ditilik dari aspek ekonomi, kebutuhan akan Sepak Bola dapat dikategorikan sebagai hajiyat dan bukan sekedar tahsinat. Sebab olahraga ini memainkan peran penting bagi ekonomi sebuah negara. Laporan cnbcindonesia.com (05 Maret 2019) kalau sumbangan La liga ke perekonomian Spanyol setara dengan 24% penjualan kendaraan bermotor, 48% penjualan sector telekomunikasi bahkan 1,4 kali lipat dari pendapatan perusahaan maskapai penerbangan. Bahkan Jerman yang dikenal cukup ketat dalam hal kepemilikan saham ( yaitu kebijakan 50+1) mampu menggerakkan mesin finansial yang melibatkan ribuan suporternya bahkan menjadikan mereka menjadi supporter dan penggemar yang ‘berbeda’ dengan lainnya yaitu dari aspek kefanatikan (football-tribe.com 07-02-2017) dan dengan itu Sepak Bola Jerman tetap dapat memelihara ciri kejermanannya di tim nasional yang selalu disegani saat piala dunia maupun piala eropa.

Bila disepakati kalau Sepak Bola bagi sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan kebutuhan kategori semi dharuriyat dan secara ekonomi adalah hajiyat, tentu kekalahan Garuda di fnal AFF perlu dievaluasi. Menurut penulis, setidaknya ada 3 hal yang patut dilaksanakan yaitu: (1) cara rektrutmen pemain PSII yang sangat bahkan super-super ketat, tanpa alasan apapun jika tidak memenuhi kualifikasi harus ditolak; (2) pemilihan pelatih yang bereputasi tinggi dan pelatih tersebut pernah membawa tim negaranya menjuarai Piala Eropa, bahkan Dunia; (3) sistem kontraknya dalam waktu yang cukup lama, misalnya 10 tahun paling kurang.

Saat realisasi ketiga evaluasi tersebut tentu akan menelan biaya yang tidak sedikit namun secara ekonomi dapat menjanjikan dan paling penting nama harum bangsa Indonesia di dunia diperoleh bila telah ada generasi emas dari tim Garuda. Untuk pelatih bereputasi yang telah dikontrak, berikan padanya hak pereogratif menentukan siapa saja pemain yang akan mengisi tim nasional Indonesia dan sementara pengurus PSSI sebagai fasillitator saja.  Disini penulis teringat ungkapan yang dinyatakan oleh Gus Dur (w. 2009 M) bapak bangsa, “kalau Sepak Bola pemainnnya juga penting, tapi lebih dahulu pengurus dan ujungnya adalah pelatih (untuk menyeleksi pemainnnya) begitu juga manajer”  []

ilustrasi : detik.sport

Leave a comment

Tentang Kami

alkhairaat-ternate.or.id adalah situs resmi milik Alkhiraat Cabang Kota Ternate, sebagai media silaturahmi dan dakwah dengan menyajikan informasi seputar pendidikan, dakwah dan sosial, serta mempromosikan tulisan-tulisan rahmatan lil-alamin yang berakar pada kearifan tradisi

Hubungi Kami

Alamat: Jl. Kakatua, No.155, Kelurahan Kalumpang, Ternate Tengah, Kota Ternate, Provinsi Maluku UtaraTelepon: (0921) 312 8950email: alkhairaat.ternate@gmail.com