Kesederhanaan Sosial

EMBUN JUM’AT

Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA

Dosen UIN SUKA Yogyakarta  | Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu  |  Wakil Ketua bidang Pendidikan Agama dan Budaya Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia-Sukoharjo Jawa Tengah; email  |  jafar.assagaf@uin-suka.ac.id


Dalam keseharian, kerap kali terdengar ungkapan tentang kesederhanan yang populer dikaitkan dengan gaya hidup. Kata sederhana dapat berarti bersahaja yaitu tidak berlebih-lebihan atau dapat pula berarti sedang (KBBI online). Ibn al-Atsir (w. 606 H) merujuk hadis untuk ungkapan sederhana melalui kata al-qashd (القصد) yaitu pertengahan dalam berbagai hal; baik terkait dengan perkataan maupun perbuatan (al-Nihayah) termasuk sikap, bahkan terkait dengan ide dan pikiran. Dari akar kata القصد, dalam konteks modern dipakai untuk ilmu ekonomi (الإقتصاد), sebab ekonomi mengatur pengeluaran dan pemasukkan yang seimbang dan menguntungkan.

Al-Qur’an dalam konteks kesederhanaan mengilustrasikan dengan sikap yang tidak meletakkan tangan di leher (tidak mau berinfak; atau bahkan kikir) dan tidak pula membentangkan seluasnya (terlalu bermurah hati). Ilustrasi meletakkan tangan tersebut menyebabkan pelakunya tercela, sementara terlalu membentangkan dapat menyebabkan penyesalan (QS: al-Isra; 29).

Di era globalisasi, melalui aneka produk pakaian, aksesoris, elektronik, otomotif, dan properti ikut mengarahkan kita menjadi masyarakat konsumtif. Sikap tersebut menjadikan kita tidak produktif, juga tidak dapat hidup secara sederhana. Hidup sederhana tidak harus dipahami dengan kehidupan yang melarat. Sikap zuhud sebagian sufi di abad 2 dan 3 hijriyah seperti Malik bin Dinar (w. 127/130 H) yang diriwayatkan tidak memakan daging kecuali daging kurban hari Idul Adha (al-Dzahabiy) adalah praktik yang mengarah kepada sikap kehati-hatian dan hal itu adalah pola hidup mereka yang tidak umum, mereka tetap hidup bersahaja.        

Dalam konteks sebagai masyarakat, terkadang kita menginginknan hal yang dinilai berlebihan yaitu membeli sesuatu yang mungkin belum dapat difungsikan secara maksimal atau bahkan membeli barang yang pada dasarnya belum dibutuhkan untuk segera dipakai. Pola hidup demikian bahkan menjadi semacam trend dan kerap kali memunculkan ‘persaingan’ antara individu dalam masyarakat untuk beramai-ramai memamerkan apa yang dimiliki. Pada gilirannya membentuk komunitas yang konsumtif disebabkan ingin bersaing, ingin memamerkan dan ingin dinilai sebagai orang yang berkecukupan. Padahal meski seseorang memiliki aneka macam kekayaan; kaya raya, orang tersebut dituntun untuk tetap hidup sederhana.

Imam al-Haddad (w. 1132 H) salah satu sufi dari Yaman meski memiliki kebun berhektar-hektar, ia tetap menyumbangkan hasil kebunnya dalam jumlah yang banyak untuk kebutuhan fakir miskin, demikian pula Imam Abu Hanifah (w. 150 H) saudagar kaya bergaya hidup sederhana dengan cara berbagi kepada yang lain. Dalam hal ini, kepemilikian seseorang terhadap aneka materi tidak menjadikan ia sebagai orang yang menghambur-hamburkan kekayaan (boros), namun mengoptimalkan untuk hal-hal positif dengan batasan dan ukuran tertentu. Selain itu, kepemilikannya terhadap materi tidak menjadikan dia ‘dirasuki’ olehnya. Kekayaan merupakan sarana menuju kebahagiaan akhirat, dan bukan sebagai tujuan hidup. 

Rasulullah suci saw mencontohkan agar hidup sederhana menjadi praktek masyarakat dalam keseharian mereka. Baik saat beribadah; shalat maupun khutbah (HR. Muslim), berpakiaan dan berkendaraan (HR. al-Baihaqi). Nabi suci saw menilai mereka yang mengantar jenazah secara tergesa-gesa bukan merupakan kesederhanaan (renungkan HR Imam Ahmad), sebab sikap tersebut dinilai berlebihan. Mereka yang mengantar jenazah seyogyanya bersikap tenang, saat membawa keranda jenazah tidak lamban dan tidak pula cepat tetapi sedang. Imam al-Nasa’iy (w. 303 H) meriwayatkan dari sahabat yang dirindukan surga ‘Amar (‘Imar) bin Yasir (w. 37 H), di antara doanya Nabi suci saw yaitu:

…..

وأسألك كلمة الحق في الرضا والغضب وأسألك القصد في الفقر والغنى وأسألك نعيما لا ينفد

 … وأسألك قرة عين لا تنقطع

Artinya: “…dan aku meminta (memohon) pada-MU kalimat (ucapan) benar di saat rela (suka) dan di saat marah, dan aku meminta pada-MU (sikap dan gaya hidup) sederhana (sedang; berada di tengah) saat fakir (susah) dan saat kaya, dan aku meminta  pada-MU nikmat yang tidak habis (hilang), dan aku meminta pada-MU penyejuk mata yang tidak terhenti (terputus)…” 

wa Allâhu a’lam bi al-shawâb …

Leave a comment

Tentang Kami

alkhairaat-ternate.or.id adalah situs resmi milik Alkhiraat Cabang Kota Ternate, sebagai media silaturahmi dan dakwah dengan menyajikan informasi seputar pendidikan, dakwah dan sosial, serta mempromosikan tulisan-tulisan rahmatan lil-alamin yang berakar pada kearifan tradisi

Hubungi Kami

Alamat: Jl. Kakatua, No.155, Kelurahan Kalumpang, Ternate Tengah, Kota Ternate, Provinsi Maluku UtaraTelepon: (0921) 312 8950email: alkhairaat.ternate@gmail.com