Perang dan Perjanjian Damai

EMBUN JUM’AT

Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA

Dosen UIN SUKA Yogyakarta  | Sekretaris Umum Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia   |  Wakil Katib Syuriah PCNU  & Wakil Ketua Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia-Sukoharjo Jawa Tengah | email:  jafar.assagaf@uin-suka.ac.id


Penduduk dunia terus berdoa agar damai dapat tercipta di mana saja tanpa terkecuali. Perdamaian pun diharapkan muncul dari perseteruan Rusia versus Ukraina, menyusul negara Beruang Merah tersebut membombardir Ukraina yang juga bekas dari pecahan Uni Soviet. Serangan Rusia sejak 24 Pebruari 2022 untuk melumpuhkan fasilitas militer (demiliterisasi) terhadap negara yang dikenal sebagai produsen utama minyak bunga matahari serta biji-bijian dan gula.

Alasan dan pasal invasi atau juga disebut operasi militer itu memiliki rentetan kronoligis historis yang cukup panjang antara kedua negara di atas. Pemicu akhir ketegasan Rusia adalah keinginan Ukraina untuk bergabung dengan NATO (North Atalantic Treaty Organization). Organisasi ini dinilai berusaha melakukan ekspansi ke Eropa Timur, dan hal inilah yang dapat mengancam keamanan Rusia dari negara Eropa Barat dan Amerika Serikat (CNBC Indonesia, 25-02-2022).

Perang dari aspek negatif telah menimbulkan kerugian materi, kerusakan fasilitas, pencemaran alam dan bahkan memakan korban nyawa yang tidak sedikit. Konon dalam perang telah diatur untuk tidak menghabisi jiwa masyarakat sipil (tidak ikut berperang), tetapi faktanya merekalah; anak-anak, orang tua renta dan perempuan yang justeru menjadi korban terbanyak di hampir semua peperangan.

Sementara dari aspek postitif, perang oleh sebagian orang justeru perlu dilakukan untuk tujuan damai. Sebab tanpa peperangan maka damai tidak akan terjadi. Tujuan perang tentu bukan untuk menguasai, terlebih menginvasi secara teritorial, ekonomi bahkan politik terhadap negara lain yang berdaulat. Tetapi perang dilaksanakan untuk menunjukkan kepada siapapun -terutama kepada lawan- bahwa semua orang  harus diperlakukan secara adil tanpa pandang bulu, dan bahwa musuh/lawan agar tidak memiliki standar ganda dalam memberikan kebijakan apalagi keputusan. Mungkin tepat dalam konteks ini disebut peribahasa latin kuno berbunyi “si vis pacem para bellum; jika mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang” atau dalam ungkapan al-Qur’an surah al-Hajj; 40:

ولولا دفع الله الناس بعضهم ببعض لهدمت صوامع وبيع وصلوات ومساجد يذكر فيها اسم الله كثيرا

artinya: … dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah (pasti) roboh biara-biara (para rahib), gereja-gereja, sinagog-sinagog (orang Yahudi) dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah…”

Kehancuran lawan sesungguhnya bukanlah hal yang dituju dalam perang, oleh sebab itu setelah musuh mengetahui maksud dari perang yang dilaksanakan maka tujuan akhir perang adalah damai melalui perjanjian yang disepakati untuk kepentingan, kemaslahatan dan kedamaian bersama.

Dalam konteks ini, tidak keliru bila dikemukakan historis hadis perjanjian damai antara kaum Muslim dengan kaum kafir Quraisy dalam fakta Hudaibiyyah pada tahun 6 H. Peperangan telah terjadi berulang kali antara kedua kubu tersebut, di antaranya yaitu perang besar seperti Badar (2 H), Uhud (3 H) dan khandaq (5 H). Pada akhirnya keduanya sepakat untuk berdamai (genjatan senjata) selama beberapa tahun ke depan; 2-10 tahun dalam beberapa riwayat yang ada. Hal menarik yang dicermati adalah perjanjian damai itu justeru terjadi setelah perang yang berlarut-larut, sebab kedua kubu tersebut telah memahami apa yang diinginkan oleh masing-masing pihak.

Perjanjian Hudaibiyyah terjadi dengan aneka kesepakatan. Terlepas dari butir-butir dalam perjanjian tersebut yang dinilai oleh sementara sejahrawan bahkan oleh Umar ra (w. 23 H) sendiri cukup merugikan kaum muslimin terutama pada butir tentang ‘pengembalian’ individu yang berasal dari Mekkah kepada pihak Quraisy, sementara hal tersebut tidak berlaku untuk kaum Muslim.

Namun hal menarik yang dapat dipetik dari perjanjian Hudaibiyyah dalam konteks perang Rusia versus Ukraina yaitu pada dua hal: pertama, perjanjian damai harusnya memberikan keputusan kepada pihak yang bertikai yaitu Rusia dengan Ukraina secara independen tanpa dipengaruhi oleh pihak ketiga. Sebab dengan masuknya pihak ketiga, tentu ada kepentingan dan hal-hal lain yang justeru dapat merugikan kedua pihak yang bertikai. Meski nanti negara manapun boleh menjadi ‘sekutu’ dari salah satu pihak yang bertikai, tetapi hal tersebut tentu setelah independensi perjanjian damai antara keduanya telah disepakati. Pelajaran dari Hudaibiyyah, terdapat klan tertentu yang bersekutu dengan kaum Muslim seperti klan (bani) Khuza’ah sementara klan Bakar bersama Quraish dan ini setelah kedua pihak yang bertikai telah memutuskan point-point perjanjian damai. Kedua, pihak yang bertikai ditekankan melihat ke depan tentang hubungan antara keduanya secara khusus dan dengan pihak-pihak lain secara umum dalam bentuk yang lebih proposional, sehingga egoisme antara pihak yang bertikai dapat melebur untuk menciptakan perdamaian di kawasan keduanya yang secara teritorial dan wilayah menyatu daratannya.

wa Allâhu a‘lam bi al-shawâb …

ilustrasi foto : Reuters

Leave a comment

Tentang Kami

alkhairaat-ternate.or.id adalah situs resmi milik Alkhiraat Cabang Kota Ternate, sebagai media silaturahmi dan dakwah dengan menyajikan informasi seputar pendidikan, dakwah dan sosial, serta mempromosikan tulisan-tulisan rahmatan lil-alamin yang berakar pada kearifan tradisi

Hubungi Kami

Alamat: Jl. Kakatua, No.155, Kelurahan Kalumpang, Ternate Tengah, Kota Ternate, Provinsi Maluku UtaraTelepon: (0921) 312 8950email: alkhairaat.ternate@gmail.com