Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu | Wakil Ketua bidang Pendidikan Agama dan Budaya Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia-Sukoharjo Jawa Tengah; email | jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Suatu ketika Iblis bertanya pada Allah swt. “Ya Tuhan, semua ciptaan-Mu telah Engkau sebabkan (tentukan) rezeki mereka, maka apa rezekiku ?” tanya Iblis. Allah swt menjawab: “rezekimu yaitu apa saja yang tidak disebutkan nama-KU atasnya”. Percakapan singkat ini bersumber dari sahabat Ibn Abbas (w. 68 H) riwayat Abu Syeikh al-Asfahaniy (w. 369 H) yang dinukil oleh al-Munawiy (w. 1030/1 H) dalam karyanya al-Ittihaf al-Saniyyah bi al-Ahadits al-Qudsiyyah.
Dialog di atas memunculkan pertanyaan mengapa Allah swt menjawab demikian pada Iblis? bukankah itu berarti rezeki Iblis sangat banyak dan juga luas cakupannya ? sebab tidak semua orang saat menerima rezeki dapat mengingat Allah swt dan bahwa rezeki itu sendiri tidak hanya berupa makanan atau sesuatu yang bisa dimakan, namun arti rezeki lebih dari sekedar itu.
Rezeki semula berarti pemberian yang mengalir, sedang berlaku; terjadi. Apa yang dipakai untuk memelihara kehidupan yang diberikan oleh Tuhan adalah arti penting rezeki (KBBI online). Dalam al-Qur’an rezeki digunakan pada hal-hal yang tidak hanya bersifat duniawiy belaka namun juga bersifat ukhrawiy. Apa yang sampai ke dalam perut yaitu makanan termasuk salah satu bentuk rezeki duniawiy. Saat menyebutkan penggalan QS: al-Munafiqun; 10, dan al-Baqarah; 3 yaitu:
ومما رزقناهم ينفقون
Artinya: “…dan mereka senantiasa menginfakkan dari apa yang Kami rezekikan/berikan pada mereka.”
Al-Asfihaniy (w. 503 H) menyatakan bahwa yang diinfakkan dapat berupa harta, kedudukan dan ilmu (Mu‘jam Mufradat), dan semua itu adalah rezeki. Dalam konteks ini, Ibn al-Atsir (w. 606 H) menyebutkan bentuk rezeki (arzaq) ada dua: pertama, secara lahir untuk memelihara badan seperti makanan, kedua, secara batin untuk hati dan jiwa seperti ma’rifat dan ilmu (al-Nihayah fi Gharib al-Hadis wa al-Atsar).
Dengan demikian maka rezeki bentuknya tidak harus makanan dan uang ataupun materi lainnya yang bersifat duniawiy, meski ada pula rezeki yang dapat berupa materi (duniawiy) namun sebagai media yang membawa seseorang pada keuntungan ukhrawiy, seperti nasehat, petuah dan sejenisnya yang bila dijalankan akan membawa manfaat di dunia dan akhirat. Teman yang mengajak kepada kebaikan merupakan rezeki duniawiy untuk kebahagiaan ukhrawiy, maka tidak keliru sebagian ungkapan masyarakat kita dalam pergaulan sosial bahwa rezeki bukan hanya uang tetapi sahabat yang baik adalah rezeki.
Dialog antara sang Pencipta dengan makhluq bernama Azazil atau al-Haris Abu Murrah; Iblis, mengisyaratkan kalau Allah swt senantiasa memberikan rezeki duniawiy pada semua ciptaannya termasuk Iblis, namun tak semua dari mereka akan memperoleh rezeki ukhrawiy. Sebab itu, siapapun yang melakukan proses belajar mengajar, memerintah, bekerja dan sebagainya tanpa didasari zikir yaitu mengingat Allah swt meski hanya secara lisan, maka dikhawatirkan mereka ‘menyertakan’ Iblis dalam merasakan, menikmati, dan membagi rezeki-rezeki tersebut. Oleh sebab itu, dalam agama selalu diajarkan agar senantiasa ‘menyertakan’ Allah swt di setiap aktifitas seseorang, sejak dari bangun tidur di pagi hari sampai kembali tidur di malam hari, misalnya saat memakai baju, makan-minum dan hubungan suami isteri serta lainnya.
Peranan zikir saat menikmati rezeki dalam hal tersebut bukan semata-mata untuk memperbanyak rezeki yang sudah diterima, tetapi juga untuk membawa keberkahan dan kelezatan spiritual saat berbagi dan memberi kepada orang lain. Dalam konteks ini, al-Munawiy menyebutkan perbedaan rezeki Iblis dengan rezeki Jin. Rezeki Iblis tidak hanya terbatas pada makanan; bentuk materi, tetapi mencakup pada non materi yang dapat dicontohkan misalnya mengajari ilmu tanpa dilandasi zikir berpotensi menjadi rezeki Iblis. Adapun rezeki Jin lebih kepada hal-hal materi seperti sisa makanan, tulang dan kotoran seperti dalam Sunan al-Turmudziy dari sahabat Ibn Mas’ud (w. 32 H).
Dalam dialog di atas, terdapat pembelajaran penting bahwa setiap orang dapat menjadi ‘media’ penerus rezeki kepada sesama, terutama pada mereka yang tak mampu di masa pandemi, sebab makhluq yang terlaknat dari Surga Allah sekalipun tetap membutuhkan rezeki dari Penciptanya, maka bagaimana dengan kita sebagai manusia kepada sesama maupun kepada hewan, tumbuhan dan lingkungan yang membutuhkan ?
wa Allâhu a‘lam bi al-shawâb…