Alkhairaat ‘Membumi’

Penulis: Dr. Ja’far Assagaf., MA 

Dosen UIN SUKA; Sekretaris Umum Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia (ASILHA)

email: jafar.assagaf@uin-suka.ac.id

7 tahun ke depan berdasar hitungan masehi atau 4-5 tahun berdasar hitungan hijriyah, Al-Khairaat akan genap berusia 100 tahun sejak berdiri pada 1349 H/30 Juni 1930 M. Di usia yang hampir 1 abad, sebagai organisasi agama yang bergerak di bidang Pendidikan, Dakwah dan Sosial, Al-Khairaat masa kini tersebar di 12 Propinsi di Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan 1551 madrasah dan sekolah, 47 Pondok Pesantren dan 1 perguruan Tinggi (https://media.alkhairaat.id/tentang-kami/). Sementara ketika pendirinya Guru Tua; Idrus bin Salim al-Jufri wafat, Al-Khairaat memiliki 420 cabang.    

Keberhasilan Al-Khairaat mengembangakn Pendidikan melalui sekolah, sebenarnya tidak lepas dari pola dan gaya dakwah pendirinya; Guru Tua. Sejak masuk di tanah Kaili; Palu dan sekitarnya maupun saat Al-Khairaat menyebar di berbagai wilayah khususnya di Indonesia bagian Timur. Guru Tua mampu membaca konteks sosial, beradaptasi dengan lingkungan dan dakwah yang bertahap, berkesinambungan dengan akhlaqul karimah.  

Pola dakwah ‘sederhana’ Guru Tua tentu memiliki sejarah yang patut dipelajari dan merupakan kewajiban bagi Abna al-Khairaat untuk terus mengabadikannya dalam proses kelangsungan Al-Khairaat itu sendiri. Dari sekian banyak pelajaran dari pendiri al-Khairaat, menurut penulis ada tiga hal utama yang Guru Tua lakukan dalam menyebarkan Pendidikan Islam melalui organiasai yang dia dirikan.

1. Merangkul Penduduk Setempat.

Pola Dakwah Guru Tua ini terlihat melalui kedekatannya dengan tokoh-tokoh di Palu dan sekitarnya. Al-Khairaat pertama kali diresmikan di bawah rumah Haji Daeng Marocca. Lebih lanjut, Guru Tua menikahi salah satu puteri bangsawan di tanah Kaili bernama Ince Ami atau kerap dipanggil Ince/Ite. Rumah Ite menjadi saksi sejarah pengembangan Pendidikan awal puetra dan puteri Al-Khairaat. Ibarat sayyidah Khadijah as yang berkorban untuk kelangsungan dakwah nabi suci Muhammad saw, Ite mewakafkan tanahnya untuk kelangsungan madrasah, rumah dan asrama bagi para santri yang belajar.

Pola merangkul, juga Guru Tua lakukan di berbagai tempat saat ingin mendirikan madrasah Al-Khairaat. Setelah berkeliling di beberapa tempat di wilayah Moluku Kie Raha (Maluku bagian Utara), maka pada 21 September 1964 Al-Khairaat resmi didirikan di Ternate. Saat itu didukung oleh beberapa tokoh dari keluarga Sogira, Aco, Daeng Barang, Bopeng, selain dari beberapa keluarga peranakan Arab di Ternate. 

Melalui Pendidikan Al-Khairaat, di Ternate telah bermunculan sekian banyak tokoh politik, agama dan masyakarat misalnya almarhum Sofyan Hanafi (ko Sof) alumni Al-Khairaat Palu yang menjadi anggota DPR Maluku Utara, Tauhid Soleman dan Jasri Utsman keduanya alumni al-Khairaat Ternate yang sekarang menjabat Wali Kota dan Wakil Wali Kota Ternate (sejak 2021) dan lainnya, yang ikut berkiprah dalam membangun Indonesia baik secara moril maupun materiil. 

Sepeninggal Guru Tua, konteks merangkul masih terlihat misalnya di acara haul. Menurut Martin Slama dalam Paths of Institutionalization, Varying Divisions and Contested Radicalisms; Comparing Hadrami Communities on Java and Sulawesi (Jurnal Comparative Studies of South Africa and The Middle East vol 31, no. 2, 2011) bahwa terjadi pembauran perempuan hadrami dengan perempuan masyarakat setempat dalam acara haul Guru Tua, di mana hal tersebut tidak terdapat di acara haul di Solo.

2. Memblokir Pertentangan

Perseteruan pengurus yayasan Jamiat Khair di Jakarta secara khusus dan Jawa secara umum dengan para masyaikh yang kemudian melahirkan yayasan al-Irsyad (1914 M) dengan tokohnya Ahmad Sorkati (w. 1943 M), Umar Manggus dan lainnya menjadi pelajaran sangat penting bagi Guru Tua dalam melanjutkan pola dakwahnya di Indonesia bagian Timur. Berbekal pengalamannya di Pekalongan, Solo dan Jombang dan situasi sosial di Jawa, dakwah Guru Tua melalui Lembaga Pendidikan di Palu dan wilayah Indonesia lainnya justeru memperoleh dukungan dari kalangan masyaikh yang ada di sana.

Keluarga masyaikh dari marga al-Amri, bin Godal, Naser, al-Katiri, Ammari, Bahmid, Minabari, Abd Aziz dan lainnya di Palu, Gorontalo, Manado dan Ternate justeru menjadi pendukung utama; garda terdepan Al-Khairaat sejak awal berdiri sampai masa kini. Polarisasi yang terjadi di tanah Jawa secara sukses diblokir oleh Guru Tua, sehingga hubungan antara ba‘alwi dengan masyaikh di Indonesia Timur dalam kondisi persaudaraan, persahabatan, saling menghargai dan menghormati.  Agaknya ini salah satu yang mendorong Azyumardi Azra (w. 2022 M) menyelami seluk-beluk Al-Khairaat dengan pendirinya. Beberapa esai Azra khususnya Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Mizan, 2002) memuat kiprah Al-Khairaat dan Guru Tua, bahkan mantan rektor UIN Jakarta (1998-2006 M) tersebut menghadiri haul Guru Tua di tahun 2010. 

Senada dengan Azra, Martin Slama (Comparative Studies) melihat klasifikasi ba‘alwi dengan masyaikh tidak terdapat dalam acara haul Guru Tua. Sebaliknya komunitas masyarakat setempat (Palu dan sekitarnya), ba‘alwi dengan masyikh menyatu dan bersama dalam acara haul Guru Tua.

3. Menepis Ego 

Sejak awal pendiri Al-Khairaat dikenal dan dipanggil dengan sebutan Guru Tua. Saat penulis mondok di Palu (1988-1991 M), sebutan habib tidak terdengar untuk Guru Tua, paling yang sering didengar adalah Ustad Tua. Bahkan cucu beliau, ketua Utama Al-Khairaat Ustad Saqqaf dan pimpinan Pondok Al-Khairaat di Kamonji yaitu Ustad Abdillah (Abi) keduanya anak Ustad Muhammadd bin Idrus al-Jufrie juga tidak pernah dipanggil dengan kata Habib, setidaknya sampai tahun 2000 M. Kami para santri dan masyarakat Palu saat itu biasa memanggil keduanya dengan sebutan ustad. 

Memang Guru Tua sejak awal nampak menghindari pengkalsifikasian sesama peranakan Arab maupun dengan masyarakat setempat, sehingga panggilan habib di Palu maupun Indonesia Timur secara umum tidak seperti yang berlaku di Jawa. Bahkan di bagian Timur Indonesia panggilan habib digunakan oleh ba‘alwi maupun masyaikh secara bersama-sama untuk kakek mereka, terutama jika ada salah satu cucu yang namanya sama dengan sang kakek. Konteks ini yang penulis lihat mulai memudar lantaran pengaruh ‘perhabiban’ yang marak di Jawa, terutama Jakarta. 

Maka diperlukan restorasi sebagai langkah pemulihan ke misi Guru Tua dan kebiasaan awal masyarakat setempat memanggil Guru Tua dengan sebutan guru atau ustad. Harapan ini ditujukan terutama bagi siapapun tokoh agama dari ba‘alwi yang merupakan Abna Al-Khairaat yang ada di wilayah Timur Indonesia, khsusunya di Palu, Ternate agar tidak menggunakan kata habib namun kembali menggunakan kata ustad pada mereka yang dianggap berilmu. Hal inilah yang dapat memperkuat kembali misi Guru Tua menjadikan Al-Khairaat senantiasa ‘Membumi’ di Nusantara.

wa Allahu a‘lâm bi al-shawâb …

Leave a comment

Tentang Kami

alkhairaat-ternate.or.id adalah situs resmi milik Alkhiraat Cabang Kota Ternate, sebagai media silaturahmi dan dakwah dengan menyajikan informasi seputar pendidikan, dakwah dan sosial, serta mempromosikan tulisan-tulisan rahmatan lil-alamin yang berakar pada kearifan tradisi

Hubungi Kami

Alamat: Jl. Kakatua, No.155, Kelurahan Kalumpang, Ternate Tengah, Kota Ternate, Provinsi Maluku UtaraTelepon: (0921) 312 8950email: alkhairaat.ternate@gmail.com