Konklusi Narasi al-Janadi dan Musyajjar (Bagian III, selesai)

Dr. Ja’far Assagaf, MA.

jafar.assagaf@uin-suka.ac.id

Pada Narasi al-Janadi I & II telah jelas dan terkonfirmasi bahwa komunitas ba‘alwi sudah ada di Hadramaut sebelum masa Abu Jadid (w. 620 H) melalui penggalan اصله من حضرموت من اشراف (lihat Narasi al-Janadi I) dan moyang Abu Jadid tidak lain adalah moyang ba‘alwi yang ada sekarang. Keduanya bertemu di Abdullah/Ubaidillah bin Ahmad bin Isa sampai ke Ali bin Abi Thalib. Baik nama Abdullah maupun Ubaidillah adalah satu orang, semua hal tersebut juga dibuktikan melalui rentetan konektivitas yang kontinu dari tulisan al-Janadi (w. 730/2 H), al-Khazraji (w. 812 H), al-Syarji (812-893 H), al-Sakhawi (830-902 H) melalui beberapa tokoh Abu Jadid, Abdullah bin Alwi (w. 731 H), Umar bin Abd Rahman (w. 833 H) juga ayahnya Abd Rahman (w. 819 H). 

Hal di atas bersesuaian dengan pengakuan sebagian ulama di Yaman dalam rentang waktu 650-900 H (Ibn Abi al-Hub w. 611 H sampai al-Sakhawi w. 902 H). Artinya jika moyang Abu Jadid berbeda dengan moyang ba‘alwi yang ada saat itu sampai sekarang, maupun Abdullah dan ‘Ubaidillah adalah orang yang berbeda, tentu ulama-ulama seperti yang al-Khatib al-Hadhrami al-Tarimi (w. 850/5 H) dan al-Samarqandi (w. 996 H) sebutkan (seperti dinukil Bamakhramah, 2008, II, 619; al-Samarqandi, 1998, 76), pasti akan membantah dan memberikan informasi tersebut kepada umat Islam di sana. Hal itu akan menjadi buah bibir ketika itu dan akan ditulis di catatan ulama maupun karya mereka, namun kenyataannya tidak ada

Ketika al-Sakhawi menyebut Ubaidillah (1991, V, 59) untuk Abdullah dalam narasi al-Janadi, dan Muhammad Kadzim (w. 891 H) (1419 H, 53. Lihat pula Konektivitas, 21-23)  juga menyebut Abdullah lalu ditambahkan al-Samarqandi bahwa Abdullah tersebut memiliki anak bernama Alwi (al-Samarqandi, 77) yang sebelumnya juga telah al-Sakhawi sebut Alwi bin ‘Ubaidillah, menunjukkan penggunaan nama Abdullah maupun ‘Ubaidillah saat itu sudah dikenal (syuhrah) dan tidak ada perdebatan karena kedua nama itu adalah satu orang yang sama, yaitu anak dari Ahmad bin Isa bin Muhmamad bin Ali al-‘Uraidhi bin Ja‘far al-ShadiqPerlu diingat ulama yang memiliki tulisan tentang ba‘alwi seperti al-Janadi dan lainnya maupun yang disebutkan oleh al-Khatib dan al-Samarqandi semuanya non ba‘alwi

Keseluruhan penjelasan di atas melalui data-data induktif ulama telah menegaskan bahwa pernyataan nasab ba‘alwi terputus atau tidak dapat dilacak hanya karena tidak ada nama Ubaidillah di kitab abad 5-8 adalah tidak benar, sebab semua data yang dikemukakan (lihat e-book Konektivitas, Terdeteksi al-Sakran?, Narasi al-Janadi I & II) menunjukkan sebaliknya bahwa konektivitas data-data tersebut menunjukkan dua hal; pertama, keberadaan komunitas ba‘alwi sudah ada dan dikenal sebelum Abu Jadid; kedua, ketersambungan riwayat lisan, dan catatan maupun karya/kitab dari masa sebelum Abu Jadid ke masa al-Janadi sampai masa al-Sakhawi tentang siapa itu komunitas keluarga ayah Alwi (أل أبي علوي) dan bani Alwi ba‘alwi (باعلوي) beserta turunannya bagi ulama yang ahli; nasab, rijal maupun sejarah telah terkonfirmasi dengan baik dan benar. 

Sementara masa Abu Jadid ke masa Abdullah/’Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir terlacak ditelusuri dari tiga aspek: 

Pertama, saat al-Janadi menyebutkan “asalnya (Abu Jadid) dari Hadhramaut, dari komunitas asyraf” dan “mereka senantiasa dikenal dengan keluarga ayah Alwi” menunjukkan keberadaan keluarga ayah Alwi (أل أبي علوي) sudah ada sebelum Abu Jadid dan sudah dikenal. Tentu narasi ini mengacu pada abad 5-6 H, sebab Abu Jadid hidup di paruh kedua abad 6 H sampai dua dasawarsa abad 7 H. Narasi al-Janadi tentang keluarga ayah Alwi juga berarti ada sosok yang disebut sebagai ayah dari Alwi sekaligus orang itu memiliki anak bernama Alwi, siapa dia? yaitu Abdullah/Ubaidillah. Tentu hal-hal itu al-Janadi menerimanya selain dengan sima‘ dari guru/ulama, juga terdapat keterangan dari masyarakat Yaman. Terpenting sima’ dan keterangan keberadaan komunitas keluarga ayah Alwi diperkuat oleh catatan-catatan yang ada saat itu sampai masa al-Janadi (bukan saat setelahnya) terkonfirmasi oleh ahli (ulama). Meski harus diingat tidak semua catatan dimuat dalam buku yang tercetak

Kedua, adanya data al-Janadi yang diperkuat sebelumnya oleh Ibn Nuqthah (w. 629 H) (lihat Konektivitas, 35) tentang Abu Jadid hidup dan aktif di estimasi (lahir 550/570 dan wafat 620 H), telah menunjukkan bahwa keberadaan komunitas keluarga ayah Alwi (أل أبي علوي) terkonfirmasi, kontinu secara khusus di abad 6-7 H melalui tokoh Abu Jadid. Perlu diingat data Ibn Nuqthah dengan melihat langsung Abu Jadid. Sementara data al-Janadi meski di seperempat akhir abad 7 dan seperempat awal abad 8 H (670-725 H), namun al-Janadi memiliki pola isnad dan riwayat terkonfirmasi tentang keluarga ayah Alwi di Hadhramaut. 

Ketiga, metode Musyajjar. Ahli nasab mengakui dua pola dalam menelusuri nasab yaitu (1) metode Mabsuth yaitu memaparkan turunan dimulai dari kakek ke ayah (termasuk paman, bibi), lalu anak sampai ke bawah; (2) metode Musyajjar memaparkan turunan dimulai dari anak ke ayah lalu ke kakek sampai ke atas. Jadi metode Musyajjar adalah kebalikan dari metode Mabsuth. Perlu diingat kedua metode ini telah diakui oleh para ahli; khususnya ahli nasab, dan ahli hadis yang berpola isnad. Mengingkari metode musyajjar sama halnya menepis/membuang separuh catatan saat itu yang telah terkonfirmasi oleh ahli nasab. Hanya mau menggunakan metode Mabsuth dan mengabaikan metode Musyajjar berarti ada unsur kesengajaan dan tentu hal tersebut bertentangan dengan ahli nasab. 

Dalam konteks ketiga di atas, penyebutan nasab Abu Jadid sampai ke Abdullah/Ubaidillah bin Ahmad bin Isa sampai ke Imam Ali dengan metode Musyajjar tentu tidak kosong melompong, namun melalui sima’, penjelasan dan catatan-catatan ulama maupun keluarga ayah Alwi, dan semua itu terkonfirmasi (Konektivitas, 36, 39). Maka atas dasar apa tidak mengakui logika dan metode Musyajjar? Terlebih telah ada riwayat bahwa Abu Jadid memberikan keterangan di Bashrah tentang nasab mereka keluarga ayah Alwi, dan diterima oleh qadhi. Tentu penerimaan itu karena didukung banyak hal, di antaranya catatan-catatan terkonfirmasi saat itu meski tidak ada dalam kitab, dikenalnya keluarga ayah Alwi serta kemungkinan yang sangat kuat juga memperoleh dukungan kesaksian dari turunan Muhammad bin Ahmad bin Isa (saudara dari Ali, Husein dan Abdullah/’Ubaidillah) yang ada di Bashrah (Konektivitas, 40-41). 

1 Comment

  • SamWas
    Posted Juli 10, 2023 9:39 am

    Alhamdulillah wa syukran jazakumullah khoiron katsiro atas paparan yang disampaikan. Barokallah fikum

Leave a comment

Tentang Kami

alkhairaat-ternate.or.id adalah situs resmi milik Alkhiraat Cabang Kota Ternate, sebagai media silaturahmi dan dakwah dengan menyajikan informasi seputar pendidikan, dakwah dan sosial, serta mempromosikan tulisan-tulisan rahmatan lil-alamin yang berakar pada kearifan tradisi

Hubungi Kami

Alamat: Jl. Kakatua, No.155, Kelurahan Kalumpang, Ternate Tengah, Kota Ternate, Provinsi Maluku UtaraTelepon: (0921) 312 8950email: alkhairaat.ternate@gmail.com