Hijrah di Tengah Pandemi

EMBUN JUM’AT

Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA

Dosen UIN SUKA Yogyakarta  | Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu  |  Wakil Ketua bidang Pendidikan Agama dan Budaya Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia-Sukoharjo Jawa Tengah; email  |  jafar.assagaf@uin-suka.ac.id


Hijrah merupakan sebuah pergerakan dinamis, inovatif, penuh tantangan, membuka wacana dan peluang serta media merealisasikan peradaban. Secara bahasa hijrah dari kata hajara (هجر) dapat berarti memutus, memboikot sebagai antonim dari kata menyambung. Hijrah dapat juga berarti menjauh. Orang yang memutus sesuatu secara otomatis telah memboikotnya sekaligus menjauh, sebab ia bergerak meninggalkan sesuatu tadi (Ja’far Assagaf, 2015).

Dapatkah di tengah pandemi terjadi hijrah ? pertanyaan ini akan terjawab bila sebelumnya diyakini kalau hijrah tak harus diartikan perpindahan permanen dalam bentuk fisik, namun dapat terjadi dalam bentuk yang lain. Secara mendasar hijrah dapat terjadi dalam tiga bentuk (Ja’far Assagaf, 2015).

Pertama, hijrah historis, adalah bentuk hijrah yang pernah terjadi dalam perjalanan sejarah dunia. Hijrah sebagian para nabi seperti Nabi Ibrahim asw, Nabi Musa asw dan Nabi suci Muhammad saw disebabkan kondisi genting (dharurat). Hijrah saat itu harus dilakukan, bila tidak maka keselamatan hidup mereka bakal sirna dan berakhir kematian. Dalam pandemi, hal tersebut dapat saja dilakukan bila sebuah tempat telah ‘dipenuhi’ dengan penyakit yang berbahaya dan berpotensi kuat merengut nyawa manausia. Dalam historis, bentuk hijrah ini, meski tidak permanen namun pernah dipraktekkan oleh sahabat ‘Amr bin ‘Ash (w. 43 H) memimpin kaum muslimin keluar dari Syam menuju pegunungan, lalu Allah swt menyelamatkan mereka dari penyakit tha’un di tahun 18 H.

Dalam konteks ini, perjalanan penjelajah dunia dapat dimasukkan dalam kategori ini selama perjalanan itu untuk menemukan sesuatu yang baru dan bermanfaat, dan bukan untuk menindas atau bahkan menjajah. Imigrasi sebagai salah satu pintu membangun peradaban, bahkan bangsa-bangsa besar dapat maju saat mereka berimigrasi (hijrah).

Kedua, hijrah fisik merupakan terusan dari hijrah yang pernah ada dalam historis. Hijrah fisik terjadi bila salah satu dari lima hal; jiwa, agama, keluarga, kehormatan dan harta terancam. Dalam konteks pandemi, hijrah seperti ini melibatkan pihak terkait bila kasus penderita penyakit dalam jumlah yang besar, setidaknya mereka yang sakit harus berpindah sementara waktu di tempat penyembuhan (rumah sakit, faskes dan sebagainya). Mereka yang isolasi mandiri (isoman) adalah bagian dari hijrah fisik; memboikot orang lain dalam konteks positif, agar orang lain itu selamat dari penyakit menular. Sabda Rasul suci saw bahwa:

لا هجرة بعد الفتح  

Artinya: “tidak ada hijrah setelah kemenangan (Fath Makkah)…” (al-Bukhariy, II, 1995)

Diucapkan saat kaum Muslim telah selamat dari gangguan kaum kafir Quraisy, memuat nilai substansi kalau unsur keselamatan merupakan pijakan utama hijrah dalam bentuk apapun. Oleh sebab itu di tengah pandemi, orang yang sakit menjauhi orang yang sehat sebenarnya ia telah ‘berhijrah’ dengan cara menyelamatkan jiwa dan kehidupan orang lain. Disini konsep hijrah berlaku untuk sebuah tindakan penyelamatan kehidupan milik siapapun dan tidak terbatas pada kehidupan pribadi saja. Hijrah fisik ‘sementara’ ini dapat membawa akibat yang luar biasa bagi kelangsungan kehidupan orang banyak.

Ketiga, hijrah spiritual sebagai puncak dari kedua hijrah di atas. Dekadensi moral, dan aneka tindakan kejahatan lainnya dapat terjadi di antaranya karena kekosongan spiritual. Dalam Islam, kekosongan tersebut harus berpindah dari apa yang dilarang, membahayakan, menyengsarakan diri sendiri maupun orang lain kepada apa yang diperintahkan, dianjurkan, menyenangkan dan menyelamatkan dirinya dan selainnya.

Hijrah spiritual dapat terjadi bersamaan dengan hijrah fisik melalui akar sejarah yang ada, meski tidak semua hijrah spiritual membutuhkan perpindahan tempat. Tanpa harus berpindah tempat; berhijrah fisik, di tengah pandemi peningkatan spiritual dapat diperoleh dengan membantu pihak lain yang tengah kesulitan, meningkatkan kedekatan dengan Pencipta alam semesta, menyadari akan kekurangan diri dalam hal apapun. Terkadang hijrah spiritual mempersiapkan diri untuk berkorban seperti yang pernah terjadi dalam hijrah historis Nabi suci saw. Ketiga konteks hijrah tersebut dapat terjadi di tengah pandemi, satu demi satu dan bahkan keseluruhan secara bersamaan bila dikerjakan dengan kesadaran diri sendiri.

wa Alâhu a‘lam bi al-shawâb …

ilustrasi: dompetdhuafa.org

Leave a comment

Tentang Kami

alkhairaat-ternate.or.id adalah situs resmi milik Alkhiraat Cabang Kota Ternate, sebagai media silaturahmi dan dakwah dengan menyajikan informasi seputar pendidikan, dakwah dan sosial, serta mempromosikan tulisan-tulisan rahmatan lil-alamin yang berakar pada kearifan tradisi

Hubungi Kami

Alamat: Jl. Kakatua, No.155, Kelurahan Kalumpang, Ternate Tengah, Kota Ternate, Provinsi Maluku UtaraTelepon: (0921) 312 8950email: alkhairaat.ternate@gmail.com